Apa
kira-kira yang kita fikirkan tentang sebuah pernikahan?
Banyak yang tau dan
faham bahwa pernikahan itu salah satu penyempurna agama. Ibarat volume, sebelum
menikah kita hanya setengan isi setengah kosong. Maka dengan pernikahan ini
dalam beragama kita akan menjadi full sempurna. Namun, terkadang kita lupa dengan esensi dari pernikahan itu sendiri. Untuk menjadi full dan
sempurna ini jelas bukan sembarangan dan hanya sekedar ijab qobul, sah, dan status
berubah saja. Konsekuensi kesempurnaan agama ini tentu membutuhkan niat yang benar, persiapan,
dan perjalanan yang tak sederhana. Separo agama loh.. separo!
Dimulai
dari niat..
Mari kita tengok sejenak hati kita.
Apakah sudah betul niat menikah itu lurus karena Alloh? Niat ibadah, mengikuti
sunnah Rosulullah solallahualaihiwassalam , menyempurnakan separo agama? Atau..
hanya karena membayangkan yang enak-enak saja sehingga kebanyakan
singlewan/wati atau jomblowan/wati merasa “ngebet” ingin menikah? Yang
laki-laki misalnya.. yang awalnya hidup terlontang lantung sendirian kini saat
pulang ke rumah ada yang menyiapakan makanan, ada yang mijitin dll. Atau.. yang
perempuan, merasa akan ada yang menanggung finansialnya sehingga ia tak usah
lagi bekerja? Dll. Nah.. kalau seperti itu, kok enak sekali sepertinya
menyempurnakan separo agama itu? Saya ulangi lagi bro.. sist.., separo! -_-‘
apalagi yang hanya sekedar mencari legalitas, padahal sebelumnya sudah (maaf)
sering kumpul kebo. Naudzubillah... >_<
Fase
persiapan...
Bersyukurlah wahai
singlewan/wati yang masih diberikan kesempatan belum ketemu jodoh.. *hehe.
Dalam sepanjang waktu hingga bertemu, manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk
mencari bekal persiapan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.. Teringat
nasehat salah seorang teman bahwa penantian itu harus berkualitas. Nah, kualitas
penantian inilah yang akan menjadi salah satu penentu apakah pernikahan kita
berkualitas juga atau tidak. Saya juga sering mendapatkan cerita dari beberapa
teman yang kebetulan sudah berlayar lebih dulu di bahtera rumahtangga bahwa ternyata
memang pernikahan itu tidak sederhana. Butuh bekal yang benar-benar mantap. Dalam
pernikahan kemungkinan besar kita akan mendapatkan kejutan-kejutan baik kejuatan menyenangkan
atau tidak pastinya.
Selama masih dalam
penantian, paling tidak kita bisa memaksimalkan untuk berburu ilmu (maksudnya
bekal menuju bahtera), mulai on dengan kebiasaan-kebiasaan baik dan mengurangi
kebiasaan-kebiasaan buruk, perbanyak do’a, sempurnakan ikhtiar.. dan yang pasti
sebelumnya kita luruskan niat dulu.. plus tingkatkan juga kualitas ibadahnya,
biar lebih mantab nanti pas prakteknya. *aseekk ^_^ Termasuk juga pasangan
harus mempersiapakan juga bekal ilmu pendidikan untuk anak agar mampu
melahirkan generasi-generasi rabbani penerus umat.
Dalam pernikahan juga
dibutuhkan persiapan psikis yang matang. Keharmonisan rumah tangga tentu sangat
tergantung pada aspek ini. Salah satunya adalah masing-masing pasangan harus
dapat memahami satu sama lain. Kualitas komunikasi harus dijaga, mampu
bekerjasama dengan baik, kompak dll. Yang pasti pernikahan juga butuh
retorika.. J
jangan sampai keharmonisan hanya seumur jagung *naudzubillah..
Saya teringat kata-kata
seorang senior yang beberapa kali
mengamati pasangan-pasangan yang baru saja menikah dan gembar-gembor
mempamerkan keromantisanya di FB, BB dan media sosial lainya. Kata beliau “saya
cuma senyum-senyum aja kalau liat anak-anak pada pamer keromantisan di FB
sambil dalam hati berkata.. sekarang kayak gitu.. coba liat saja nanti kalau
sudah 5-10 thun umur pernikahan”. Mendengar itu itu saya yang belum menikah
rasanya jadi ikut mekjleb. Ya.. terlepas dari itu, tentu sekali lagi saya
katakan bahwa kualitas pernikahan itu tergantung dari diri kita sendiri yang
menjalani dan bagaimana persiapan kita.
Pernikahan
itu harus disegerakan namun tidak terburu-buru..
"Barangsiapa
yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah,
maka tidaklah ia
termasuk golonganku." (HR Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).1
Nabi kita juga
mengingatkan, "Bukan termasuk golonganku orang yang merasa
khawatir akan
terkungkung hidupnya karena menikah, kemudian ia tidak menikah."
(HR Ath-Thabrani).
Konteks segera dan terburu-buru ini harus difahami sebagai makna yang
berbeda. Kalau saya mencoba menyimpulkan bab ini dalam buku “kado pernikahan”
karya ustadz fauzil adzim, bawa menyegerakan disini yang dimaksud adalah tidak
mempersulit segala proses menuju pernikahan jika Alloh sudah memberikan
kelapangan jalan.. serta menyederhanakan prosesnya termasuk teknis. Sedangkan tergesa-gesa
ibarat menanak nasi karena terlalu lapar lantas kita menyudahi memasak dan
membiarkan nasi yang masih mentah masuk ke dalam perut kita. Kemungkin besar
yang terjadi adalah rasanya tidak terlalu enak dan menjadikan perut sakit.
Intinya adalah pernikahan itu butuh ilmu.. butuh persiapan yang matang, tak
hanya persiapan fisik, psikis, materi tetapi juga ilmu. Pernikahan bukan hal
yang sederhana namun dengan persiapan yang matang insyaAlloh pasawat yang
melaju keudara akan tetap sampai pada tujuan akhir meskipun ditengan perjalanan
terjadi hujan bercampur awan hitam dan petir.
Hakikat
pernikahan..
Pernikahan itu adalah
kesucian.. sebuah ikatan yang berat (mitsaaqan
Ghalizah) menjadikan yang haram menjadi ibadah, yang dilaknat menjadi penuh
rahmat, yang biasanya dikerjakan sendiri skarang bisa lebih barokah karena dikerjakan
bersama, yang tidak pernah bunuh yahudi, sekarang bisa membunuh yahudi seminggu
sekali (*eehh). Aktivitas
sehari-haripun bisa berlipat lipat pahalanya, dari mencuci baju suami,
menanakkan nasi, apalagi mengasuh dan mendidik anak dll. Dengan pernikahan,
maka akan lahirlah generasi-generasi rabbani penerus umat.
Selain itu pernikahan
seharusnya menjadikan semangat da’wah semakin membara, bukan malah sebaliknya.
Dengan pernikahan justru dua aktivis da’wah bisa saling menguatkan dan
menasehati satu sama lain. Dalam buku “di jalan dakwah kami menikah”, Ust. Cahyadi
takariawan berpesan bahwa prosesi pernikahan dan kekeluargaan harus diletakkan
dalam kerangka dakwah, karena islam telah memberi amanat kepada kita untuk
menunaikan pekerjaan kenabian ini yaitu, da’wah lillah.
Nah, kalau semua ini
tidak didasari dengan ilmu dan niat yang tulus karena Alloh, niat ibadah, niat
mendapatkan ridho Alloh, ya.. rasanya sayang sekali. Jadi, kita kembalikan lagi
bahwa segala sesuatunya tergantung pada niat.
Saya pribadi belum
punya pengalaman pernikahan, tapi paling tidak pernah belajar, mendengar
cerita, dan diam-diam belajar dari mengamati nyak dan babe. Hehe.. Sehingga
saya merasakan pernikahan itu memang butuh niat yang benar dan persiapan yang
mantab.. kudu siap lahir, batin, mental de el el pokoknya. Berfikir pernikahan
tak hanya jangka pendek, tapi juga harus jangka panjang (*ini sebenarnya inti dari tulisan ini :D )
Terakhir.. saya teringat kata-kata seorang teman..^,^
11. Kapal itu akan kuat jika punya dasar.. begitu juga
pernikahan, ia harus punya dasar yang kuat yaitu aqidah islam.
22. Kapal akan berjalan dengan mudah dan baik jika
nahkoda dan awak kapal kompak, begitu juga pernikahan.. kekompakan suami dan
istri sangat menentukan ini
33. Kapal
akan berjalan dengan tenang jika tak ada ombak yang besar, begitu juga
pernikahan tak cukup hanya keluarga saja yang bagus, tetapi juga harus bisa
menciptakan suasana lingkungan yang “tenang”, sedangkan lingkungan yang baik
dan tenang ini akan terwujud jika masyarakat sudah sesuai dengan aturan Sang
Pembuat Hidup (Bee)
*Kepada para pembaca, coretan singkat ini sesungguhnya asli buat
menasehati diri saya sendiri, meskipun tulisanya gak bagus. Hihi.. Kalaupun bermanfaat,
ya.. alhamdulillah :D